"Kak Ita, boleh 'nggak pinjam pulpennya, satu. Punyaku
tintanya habis," Ully merayu kakaknya. Ita menggeleng.
"Aku juga mau pakai."
"Kak Ita, kan, sedang menggambar."
"Memang. Tapi besok aku ada ulangan. Kalau tintanya habis saat sedang ulangan, bagaimana?"
"Yaa... Kak Ita. Pinjam sebentar, soalnya tanggung, aku sedang menyalin. Nanti malam pasti aku ganti dengan bolpen baru," Ully merayu lagi.
"Kalau kamu mau beli, ya beli sekarang saja. Kenapa harus nunggu sampai nanti malam."
"Dasar pelit!" Ully pergi sambil merajuk. "Aku juga mau pakai."
"Kak Ita, kan, sedang menggambar."
"Memang. Tapi besok aku ada ulangan. Kalau tintanya habis saat sedang ulangan, bagaimana?"
"Yaa... Kak Ita. Pinjam sebentar, soalnya tanggung, aku sedang menyalin. Nanti malam pasti aku ganti dengan bolpen baru," Ully merayu lagi.
"Kalau kamu mau beli, ya beli sekarang saja. Kenapa harus nunggu sampai nanti malam."
Selalu saja begitu. Buku, pinsil, bolpen, selalu saja jadi bahan pertengkaran. Ita memang sulit berbagi.
"Kenapa si orang-orang tidak berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Selalu merepotkan orang lain saja!" Ita bersungut ketika Ully sudah pergi. Tangan Ita sibuk menyelesaikan sketsa gambar yang ditugaskan gurunya. "Nah, sekarang tinggal mewarnai," Ita meraih kotak cat air. Dan…" Ya ampun! Kenapa aku bisa lupa…" Ita terbelalak memandangi tube cat air yang sudah kempes. Satu persatu dipencet-pencet. Kering semua. Ita lupa kalau cat sudah habis. Ia memakainya untuk mewarnai gambar Mickey yang ia pajang di dinding kamar.
"Ully masih punya 'nggak ya?" Ita bergumam. "Ih, buat apa pinjam pada Ully. Itu berarti membari kesempatan padanya untuk meminjam barang-barangku. Aku beli saja, ah!" setengah berlari Ita keluar dari kamarnya. Di pintu depan dia berpapasan dengan Ully.
"Mau ke mana Kak Ita?" Ully heran melihat kakaknya terburu-buru seperti itu. Ita menunjuk ke depan tanpa menjawab.
"Lapar ya, mau beli pisang goreng..."Ully menggoda. Ita mendelik.
"Makanan saja yang ada di pikiranmu. Beli cat air!"
"Kak Ita..."Ully mau mengucapkan sesuatu tapi tak jadi sebab Ita keburu lari. "Heran, Kak Ita tak pernah mau minta bantuan padaku. Coba kalau dia ngomong sama aku. Pasti kuberitahu kalau di warung depan itu tak ada cat air. Dan aku akan kasih pinjam cat airku," Ully bergumam.
Di dalam kamar Ully menimang-nimang cat air miliknya. "Kak Ita pasti dimarahi Bu Guru kalau gambarnya tidak selesai. Aku harus menolongnya. Tapi... biar saja deh. Dia juga pelit," Ully memasukkan lagi kotak cat air ke dalam laci. "Tapi kata Mama kita tidak boleh membiarkan orang yang memerlukan pertolongan," Ully mengeluarkan lagi kotak cat airnya. "Kupinjamkan… jangan… pinjamkan… jangan..." Ully menghitung-hitung jarinya. "Ah… kupinjamkan saja. Kasihan Kak Ita."
Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke kamar Ita. Lalu menaruh kotak cat air di meja belajar. Tapi belum sempat Ully keluar pintu kamar, Ita sudah keburu datang.
"Berani-beraninya kamu masuk kamarku tanpa ijin. Mau apa kamu? "Ita langsung sewot." Ayo keluar!" Ita mendorongUlly keluar kamar sebelum Ully sempat memberi penjelasan. Ita menutup pintu dengan kasar, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi. "Uh! Apa yang harus kulakukan. Gambar harus selesai. Di warung tak ada cat air. Pinjam sama Ully? Amit-amit! Eh, apa itu?" Mata Ita tertumbuk pada sebuah benda di atas meja belajar. Kotak cat air. Dia sangat terkejut ketika membaca sebaris nama di tutup kotak itu. "Ully…" Ita berbisik. "Ully masuk ke kamarku untuk meminjamkan cat air… Ah, dia pasti ada maunya!" Ita meraih kotak cat air, lalu bergegas menuju kamar Ully.
"Aku tidak memerlukan ini. Kamu pasti ingin aku meminjamkan pulpenku," ujar Ita sambil meletakkan kotak cat air di meja Ully. Sejenak Ully bengong. Lalu lalu menggeleng.
"Aku sudah beli tadi. Ini!" Ully mengacungkan pulpen yang baru dibelinya. "Aku pinjamkan itu karena aku tahu Kak Ita pasti memerlukannya."
"Kamu...?" Ita menatap Ully lekat-lekat. Ully mengangguk mantap.
"Pakai saja, isinya masih banyak kok." Ita ragu-ragu. Ully mengangsurkan kotak cat air ke tangan kakaknya. Malu-malu Ita meraihnya, lalu memeluk Ully erat-erat. Ita menyesal selama ini selalu berprasangka buruk pada adiknya. Bahkan pada orang-orang di sekelilingnya. Hari ini Ita sadar. Jika mau berbagi, hidup jadi terasa lebih menyenangkan.
Source: ceritapendek.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar