Nigar kaget melihat kaver majalah Boo terbarunya robek.
Terakhir kali ia melihat Igun yang membacanya. Segera ia menemui adiknya itu.
"Igun, kenapa kamu robek majalah baru ini?" Nigar setengah berteriak.
"Tidak sengaja. Tapi isinya masih bisa dibaca kan, Kak!" kilah Igun takut.
"Pokoknya kamu harus ganti. Kalau tidak, mobil-mobilan ambulan kamu itu akan kubuang ke sungai," ancam Nigar sewot. "Cepat, sekarang juga!"
Nigar ke luar kamar Igun dan menunggu di ruang tengah. Dilihatnya kemudian Igun ke luar kamar sambil membawa mobil-mobilan kesayangannya. Nigar tidak mau melihat ke arah Igun, ketika adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan Nigar pura-pura tidak mendengar ketika adiknya pamit pergi.
Satu jam Nigar menunggu, Igun belum juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan sampai magrib tiba Igun tidak juga kembali. Ibu yang biasanya melihat Igun di depan teve langsung cemas.
"Coba cari adikmu, Gar!" ujar Ibu kuatir.
Nigar mematuhi permintaan Ibu. Diam-diam Nigar ikut cemas. Dicarinya Igun di setiap rumah teman yang diketahuinya. Tapi setelah berkeliling mengitari komplek, tak satupun teman Igun yang mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja. Namun ia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben, temannya yang terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia menceritakan masalahnya pada Oben.
Oben tertegun beberapa saat. "Wah, kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita ke rumahmu dulu!" ajak Oben kemudian.
Nigar menuruti permintaan Oben. Hanya Ibu yang kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah mengajak Oben.
"Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan," ujar Nigar hati-hati.
Oben meminta Nigar mengulangi lagi apa yang dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah.
"Pokoknya dia membawa mainan ambulannya, menelpon temannya, dan pergi," begitu kata Nigar.
"Hmmm, jadi sempat memakai telepon dulu… Kalau begitu aku harus tahu… Apa di rumah ini ada yang memakai telepon setelah Igun?" tanya Oben.
Nigar menggeleng. Ibu juga tidak merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor jadi tidak mungkin memakai telepon itu.
"Syukurlah kalau memang demikian. Itu jadi mempermudah. Bu, saya pinjam teleponnya sebentar," Oben minta ijin. Ia lalu memijat tombol bertuliskan huruf ‘R’ di telepon. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari seberang.
"Selamat malam! Maaf, apakah ini rumah Aca?" tanya Oben langsung.
"Bukan. Salah sambung," sahut suara di seberang.
"Tunggu dulu, Om, jangan ditutup. Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain di sana?"
"Igun? Oooo... teman sekelas Farhan itu…ya? Ada. Memangnya kenapa?"
"Ibunya mencari-cari sejak sore. Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami menelpon. Kami akan ke sana menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan, Om?"
"Jalan Percetakan duabelas."
"Terima kasih, Om. Selamat malam." Oben meletakkan gagang telepon. "Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya. Mudah, kan?"
Nigar menggeleng. "Belum tentu Igun mau pulang denganku," kilahnya.
"Ya, itu sudah tugasmu sebagai kakaknya."
"Ayolah, temani aku menjemput Igun."
"Bukan apa-apa, Gar. Aku belum makan malam nih. Aku lapar."
"Itu soal gampang. Nanti kutraktir makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang." Nigar tahu, Oben paling suka nasi goreng.
"Oke deh kalau begitu!" sahut Oben.
Mereka segera bersepeda ke Jalan Percetakan dua belas.
"Ngomong-ngomong, bagaimana tadi kamu tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?" tanya Nigar ingin tahu.
"Mudah saja. Kamu yang bilang, Igun menelpon seseorang sebelum pergi. Jadi kupikir ia pasti pergi ke temannya itu."
Nigar manggut-manggut. "Lantas darimana kamu tahu nomor teleponnya?"
"Juga mudah. Selama pesawat teleponmu itu belum dipakai siapapun, nomor telepon yang terakhir dihubungi akan otomatis terekam. Kita dapat menghubungi nomor itu dengan menekan tombol redial, artinya menghubungi ulang," papar Oben.
Akhirnya mereka tiba di rumah Farhan. Dan Igun benar ada disitu. Tapi seperti yang diduga Nigar, adiknya ngotot tidak mau pulang.
"Kak Nigar jahat sih. Mobil ambulan Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan tidak sengaja merobek sampul majalah Bobo-nya," Igun mengadu kepada Oben.
"Maksud Kakak biar kamu bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan," sanggah Nigar.
"Pokoknya Igun tidak mau pulang."
"Kakak janji tidak akan meminta Igun menggantikan majalah itu. Juga tidak akan membuang ambulan Igun," sahut Nigar, kuatir Igun tidak mau pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia tidak boleh main selama sebulan penuh.
Igun tersenyum. "Saksinya Kak Oben tuh," tunjuk Igun. Tak lama kemudian mereka pamit pulang kepada orang tua Farhan.
Nigar mengkayuh sepedanya sambil membonceng Igun. Sementara Oben dengan sepedanya berbaris di belakangnya sambil berbicara dengan Igun.
"Igun, kamu sering-sering kabur dari rumah ya kalau dimarahi Nigar," teriak Oben.
"Memangnya kenapa, Kak?" Igun heran.
"Biar aku bisa sering gratis makan nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur, beritahu aku dulu kemana perginya…."
"Hahahahaha...itu sih bukan kabur namanya!" timpal Nigar.
"Hahahahaha...nasi goreng! Nasi goreng!" teriak Oben lantang.
"Igun, kenapa kamu robek majalah baru ini?" Nigar setengah berteriak.
"Tidak sengaja. Tapi isinya masih bisa dibaca kan, Kak!" kilah Igun takut.
"Pokoknya kamu harus ganti. Kalau tidak, mobil-mobilan ambulan kamu itu akan kubuang ke sungai," ancam Nigar sewot. "Cepat, sekarang juga!"
Nigar ke luar kamar Igun dan menunggu di ruang tengah. Dilihatnya kemudian Igun ke luar kamar sambil membawa mobil-mobilan kesayangannya. Nigar tidak mau melihat ke arah Igun, ketika adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan Nigar pura-pura tidak mendengar ketika adiknya pamit pergi.
Satu jam Nigar menunggu, Igun belum juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan sampai magrib tiba Igun tidak juga kembali. Ibu yang biasanya melihat Igun di depan teve langsung cemas.
"Coba cari adikmu, Gar!" ujar Ibu kuatir.
Nigar mematuhi permintaan Ibu. Diam-diam Nigar ikut cemas. Dicarinya Igun di setiap rumah teman yang diketahuinya. Tapi setelah berkeliling mengitari komplek, tak satupun teman Igun yang mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja. Namun ia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben, temannya yang terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia menceritakan masalahnya pada Oben.
Oben tertegun beberapa saat. "Wah, kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita ke rumahmu dulu!" ajak Oben kemudian.
Nigar menuruti permintaan Oben. Hanya Ibu yang kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah mengajak Oben.
"Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan," ujar Nigar hati-hati.
Oben meminta Nigar mengulangi lagi apa yang dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah.
"Pokoknya dia membawa mainan ambulannya, menelpon temannya, dan pergi," begitu kata Nigar.
"Hmmm, jadi sempat memakai telepon dulu… Kalau begitu aku harus tahu… Apa di rumah ini ada yang memakai telepon setelah Igun?" tanya Oben.
Nigar menggeleng. Ibu juga tidak merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor jadi tidak mungkin memakai telepon itu.
"Syukurlah kalau memang demikian. Itu jadi mempermudah. Bu, saya pinjam teleponnya sebentar," Oben minta ijin. Ia lalu memijat tombol bertuliskan huruf ‘R’ di telepon. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari seberang.
"Selamat malam! Maaf, apakah ini rumah Aca?" tanya Oben langsung.
"Bukan. Salah sambung," sahut suara di seberang.
"Tunggu dulu, Om, jangan ditutup. Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain di sana?"
"Igun? Oooo... teman sekelas Farhan itu…ya? Ada. Memangnya kenapa?"
"Ibunya mencari-cari sejak sore. Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami menelpon. Kami akan ke sana menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan, Om?"
"Jalan Percetakan duabelas."
"Terima kasih, Om. Selamat malam." Oben meletakkan gagang telepon. "Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya. Mudah, kan?"
Nigar menggeleng. "Belum tentu Igun mau pulang denganku," kilahnya.
"Ya, itu sudah tugasmu sebagai kakaknya."
"Ayolah, temani aku menjemput Igun."
"Bukan apa-apa, Gar. Aku belum makan malam nih. Aku lapar."
"Itu soal gampang. Nanti kutraktir makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang." Nigar tahu, Oben paling suka nasi goreng.
"Oke deh kalau begitu!" sahut Oben.
Mereka segera bersepeda ke Jalan Percetakan dua belas.
"Ngomong-ngomong, bagaimana tadi kamu tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?" tanya Nigar ingin tahu.
"Mudah saja. Kamu yang bilang, Igun menelpon seseorang sebelum pergi. Jadi kupikir ia pasti pergi ke temannya itu."
Nigar manggut-manggut. "Lantas darimana kamu tahu nomor teleponnya?"
"Juga mudah. Selama pesawat teleponmu itu belum dipakai siapapun, nomor telepon yang terakhir dihubungi akan otomatis terekam. Kita dapat menghubungi nomor itu dengan menekan tombol redial, artinya menghubungi ulang," papar Oben.
Akhirnya mereka tiba di rumah Farhan. Dan Igun benar ada disitu. Tapi seperti yang diduga Nigar, adiknya ngotot tidak mau pulang.
"Kak Nigar jahat sih. Mobil ambulan Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan tidak sengaja merobek sampul majalah Bobo-nya," Igun mengadu kepada Oben.
"Maksud Kakak biar kamu bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan," sanggah Nigar.
"Pokoknya Igun tidak mau pulang."
"Kakak janji tidak akan meminta Igun menggantikan majalah itu. Juga tidak akan membuang ambulan Igun," sahut Nigar, kuatir Igun tidak mau pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia tidak boleh main selama sebulan penuh.
Igun tersenyum. "Saksinya Kak Oben tuh," tunjuk Igun. Tak lama kemudian mereka pamit pulang kepada orang tua Farhan.
Nigar mengkayuh sepedanya sambil membonceng Igun. Sementara Oben dengan sepedanya berbaris di belakangnya sambil berbicara dengan Igun.
"Igun, kamu sering-sering kabur dari rumah ya kalau dimarahi Nigar," teriak Oben.
"Memangnya kenapa, Kak?" Igun heran.
"Biar aku bisa sering gratis makan nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur, beritahu aku dulu kemana perginya…."
"Hahahahaha...itu sih bukan kabur namanya!" timpal Nigar.
"Hahahahaha...nasi goreng! Nasi goreng!" teriak Oben lantang.
Source: ceritapendek.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar